Blangkejeren – Aktivitas eksplorasi tambang oleh PT Gayo Mineral Resources (PT GMR) di Desa Kenyaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, kembali menuai tanda tanya besar. Pasalnya, sejumlah sumber dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diduga telah melaksanakan kegiatan eksplorasi di luar batas wilayah yang diizinkan, termasuk menyentuh zona hutan lindung yang dilindungi secara hukum.
Kegiatan eksplorasi yang berlangsung sejak pertengahan 2024 itu disebut tidak sepenuhnya sesuai dengan peta batas yang seharusnya tertuang dalam SK Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Namun hingga kini, tidak ada kejelasan dari pihak perusahaan maupun pemerintah terkait batas koordinat pasti wilayah kerja PT GMR. Bahkan, dokumen lingkungan seperti UKL-UPL dan AMDAL pun belum pernah diumumkan atau ditunjukkan secara terbuka kepada publik.
“Indikasi pelanggarannya cukup kuat. Dari peta tutupan lahan dan laporan masyarakat, sebagian alat berat mereka telah masuk ke area yang secara legal adalah kawasan hutan lindung. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bisa berdampak hukum,” kata Abdiansyah, Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, saat ditemui wartawan di Blangkejeren, Jumat (20/6/2025).
Abdiansyah menambahkan, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, wilayah kerja pertambangan tidak boleh keluar dari batas IUP yang disahkan. Apabila ditemukan kegiatan eksplorasi atau pembukaan lahan di luar batas izin tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat yang dapat berujung pada pencabutan izin, bahkan proses pidana jika menyangkut kawasan hutan tanpa izin pelepasan atau pinjam pakai.
“Ini menyangkut keabsahan hukum, perlindungan lingkungan, dan integritas sistem perizinan negara. Kalau wilayah kerja tidak sesuai, maka izinnya cacat atau penyalahgunaan wewenang telah terjadi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan pentingnya keterlibatan instansi teknis seperti Dinas ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup Aceh dalam melakukan audit lapangan. Ia menyarankan penggunaan citra satelit terkini dan pengukuran langsung menggunakan koordinat GPS untuk menguji kebenaran batas wilayah eksplorasi yang diklaim PT GMR.
“Kenapa tidak dari awal data wilayah izin eksplorasi mereka dibuka ke publik? Kenapa dokumen lingkungan tidak ada di sistem OSS-RBA atau website pemerintah? Ini adalah proyek tambang di kawasan yang sangat sensitif, publik berhak tahu dan berhak mengawasi,” lanjutnya.
Kawasan Pantan Cuaca yang menjadi lokasi kegiatan eksplorasi PT GMR termasuk dalam bentang alam yang berdekatan dengan zona penyangga Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Potensi gangguan terhadap daerah tangkapan air, kawasan lindung, dan keanekaragaman hayati menjadi isu serius yang tidak bisa diabaikan. Menurut sejumlah tokoh lokal, warga juga mulai merasa khawatir karena tidak pernah dilibatkan atau diberi sosialisasi secara resmi oleh pihak perusahaan maupun pemerintah.
“Kalau benar kegiatan mereka sudah di luar batas, maka itu bukan kesalahan teknis, itu pelanggaran hukum. Pemerintah harus segera turun langsung ke lokasi dan pastikan tidak ada manipulasi atau pembiaran,” tegas Abdiansyah.
Hingga berita ini dirilis, pihak PT GMR belum merespons permintaan konfirmasi dari media ini. Sementara Dinas ESDM Aceh juga belum memberikan keterangan resmi terkait batas wilayah eksplorasi perusahaan tersebut.
Publik pun kini menunggu langkah tegas dari Gubernur Aceh, Menteri ESDM, dan KLHK untuk melakukan investigasi menyeluruh. Jika terbukti melanggar batas izin eksplorasi atau merambah kawasan hutan lindung, maka pencabutan izin PT GMR harus menjadi opsi yang tidak dapat ditawar. (TIM)



































