Kutacane, Waspada24.com – Praktik mencurigakan dalam pengelolaan Dana Desa kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, tudingan serius diarahkan kepada salah satu oknum pendamping desa di Kecamatan Lawe Sumur, Kabupaten Aceh Tenggara, yang diduga menguasai penuh pembuatan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) di sejumlah desa dalam wilayah tersebut.
Ketua DPD LSM Penjara Provinsi Aceh, Pajri Gegoh Selian, mengungkapkan bahwa hasil investigasi Forum Masyarakat Desa (Formades) menemukan indikasi praktik ilegal dalam proses penyusunan dokumen-dokumen tersebut. “Pembuatan dokumen APBDes dan SPJ yang dilakukan oleh kepala desa, ternyata tidak lepas dari intervensi pendamping desa. Bahkan, mereka mematok tarif yang bervariasi, antara Rp10 juta hingga Rp18 juta per desa,” ujarnya kepada Waspada24.com, Selasa (3/6/2025).
Tarif tersebut disebut-sebut dibayarkan menggunakan Dana Desa, yang sejatinya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Praktik ini, lanjut Gegoh, telah berlangsung selama beberapa tahun dan dinilai sebagai bentuk pungutan liar serta pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 40 Tahun 2021.
Tak berhenti di ranah administratif, oknum pendamping desa yang identitasnya belum dipublikasikan secara resmi juga diduga memanfaatkan posisinya untuk menguasai sejumlah proyek fisik di desa. Salah satunya dengan mendirikan usaha bengkel las pribadi, yang kemudian menjadi pihak pelaksana dalam berbagai proyek pembesian di desa-desa Kecamatan Lawe Sumur.
“Usaha bengkel las ini mulai aktif kembali sejak akhir 2024. Beberapa proyek seperti pembangunan teratak desa hingga pekerjaan besi lainnya diberikan langsung kepada bengkel miliknya,” terang Gegoh. Anehnya, bengkel tersebut disebut tidak memiliki izin usaha resmi, karena tidak tampak adanya plang usaha sebagaimana diatur dalam perizinan komersial.
LSM Penjara menilai tindakan ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang, bahkan bisa mengarah pada tindak pidana korupsi. “Ini jelas-jelas melanggar Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Tipikor. Siapa pun yang memperkaya diri dari uang negara adalah pelaku korupsi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gegoh menyampaikan bahwa tindakan tersebut bukan baru terjadi di tahun 2025. Dugaan keterlibatan oknum pendamping desa dalam pembuatan dokumen APBDes dan SPJ telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, dan menjadi praktik sistemik yang luput dari pengawasan pemerintah daerah.
“Pendamping desa seharusnya bertugas mendampingi, bukan mengerjakan secara langsung. Tugas mereka adalah memastikan perencanaan, penyaluran, pemanfaatan, dan pelaporan Dana Desa berjalan sesuai ketentuan, bukan malah mengambil alih dan mencari keuntungan pribadi,” katanya.
LSM Penjara Provinsi Aceh mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, khususnya Bupati dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK), untuk segera mengevaluasi seluruh pendamping desa yang bertugas di Kecamatan Lawe Sumur. “Jika perlu, dilakukan mutasi dan investigasi internal oleh inspektorat. Kami juga akan segera menyampaikan laporan resmi kepada Aparat Penegak Hukum dan Menteri Desa,” tegas Gegoh.
Kasus ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan terhadap tenaga pendamping desa, padahal mereka memiliki posisi strategis dalam pembangunan di desa. Alih-alih menjadi mitra kepala desa untuk pemberdayaan masyarakat, pendamping desa di Lawe Sumur justru ditengarai menjadi aktor dominan yang mengarahkan kebijakan dan proyek untuk kepentingan sendiri.
Jika terbukti, maka bukan hanya pelanggaran administratif yang terjadi, melainkan juga potensi korupsi berjamaah yang melibatkan dana negara miliaran rupiah setiap tahunnya. Masyarakat kini berharap, pemerintah pusat dan daerah tidak tinggal diam, dan segera melakukan langkah korektif sebelum kepercayaan publik terhadap program Dana Desa semakin merosot.
Laporan: M. Jeni | Waspada24.com



































